“Mau coba cau Bandung ah, di Bekasi mah ga ada”

Kata saya saat setelah makan bareng di rumah uwak di Bandung. “Cau ga ada, pisang banyak,” balas uwak.

Sama halnya ketika tahun lalu saya ke sana, rutinitas pagi uwak selalu mengeluarkan koleksi burungnya untuk digantung di luar rumah, “kapan lagi liat manuk, di Bekasi ga ada,” kata saya waktu itu. Dan kemarin pun melakukan rutinitas yang sama ketika saya ke sana lagi, bedanya koleksi burung uwak makin bertambah, sampai-sampai dibilang “pasar burung pindah” ke rumah uwak.

Beda kultur, walau saya masih punya keluarga di Bandung, karena saya besar di Bekasi, ketika kesana, kultur di mana saya dibesarkan lah yang selalu terbawa. Salah satunya bahasa, kata-kata yang berbeda tapi menunjukkan pada satu objek yang sama, sering membuat kelucuan tersendiri.

Malamnya, seperti biasa kita kumpul sambil nonton TV sambil ngobrol-ngobrol. Saat itu, si aa ingin membuat minuman dari extra joss, lantas saya menawarkan minuman multivitamin yang disimpan di tas, “a, mau redoxon, lebih bagus,” saya menawarkan, sambil mengambilnya dari tas. Ternyata uwak pun berminat untuk meminum multivitamin seperti si aa, di sinilah kelucuan itu dimulai.

“Haseum,” kata uwak, setelah meminum multivitamin tersebut.
“Asem wa?” balas saya menggunakan Bahasa Indonesia.
“Lain, haseum,” balas uwak sambil mempertegas, di sinilah kebingungan dimulai.
“emang beda ya a, asem sama haseum,” saya bertanya ke si aa.
“haseum, kalau bahasa Indonesianya asem,” si aa menengahkan.
“Beda, kalau itu ‘asem’, ieu ‘haseum’,” dipertegas kembali dengan menggunakan logat sunda untuk kata ‘haseum’. Pandangan saya liar ke arah si aa sama si uwak, “yang mana yang bener?” saya berpikir.
“aya tangkal asem,  mun ieu mah haseum.”

“Haseum itu artinya amis,” balas si aa yang lain, menambah kelucuan lainnya 😀

Mungkin yang dimaksud si uwak adalah asam jawa, dalam bahasa Sunda disebut tangkal asem. Cukup panjang kami membahas ‘asem’ dengan ‘haseum’, sampai-sampai bahas kata-kata lain membuat semalaman tertawa.